A. Kepemimpinan Partisipatif, Delegasi Dan
Pemberian Kewenangan
Kepemimpinan yang partisipatif memberikan ruang
peran serta secara bermakna pada para bawahan dalam menjalankan aktivitas
lembaga serta proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pemimpin menghargai
masukan berguna yang diberikan oleh para bawahannya dan bukan tidak mungkin
masukan mereka dijadikan landasan penentuan keputusan. Ada beberapa unsur
penting dan tidak mungkin dipisahkan yang membentuk kepemimpinan partisipatif.
Beberapa unsur penting tersebut adalah konsultasi, pengambilan keputusan
bersama, pembagian kekuasaan, desentralisasi, serta manajemen yang bersifat
demokratis.
Seorang pemimpin yang baik tentunya rela membuka
ruang peran serta bagi para bawahannya secara sungguh-sungguh. Dalam artian
bahwa ia memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyumbangkan saran,
menyampaikan kritik atau keluhan, mengemukakan koreksi, serta berpartisipasi
dalam penentuan keputusan. Pemimpin melakukan beberapa hal tersebut tidak sekedar
basa basi. Dalam artian bahwa ia tidak memberikan kesempatan untuk menyatakan
gagasan tetapi selanjutnya ia menciptakan rasa takut pada para bawahannya untuk
mengemukakan inisiatif sehingga akhirnya para bawahan menyerahkan sepenuhnya
proses kelembagaan padanya karena merasa apatis.
Menurut Vroom dan Yetton, prosedur pengambilan
keputusan dalam organisasi meliputi lima model yaitu :
1. Model
AI mengandung arti bahwa pemimpin memecahkan masalah dan membuat keputusan
sendiri dengan menggunakan informasi yang ada saat ini.
2. Model
AII berarti bahwa pemimpin memperoleh informasi yang diperlukan dari para
bawahan dan memutuskan sendiri keputusannya. Tetapi, ia bisa memberitahukan
atau tidak kepada para bawahan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah
yang sebenarnya. Hanya sebatas memberikan informasilah peran para bawahan.
Mereka tidak berperan dalam memecahkan masalah.
3. Model
CI mengandung arti bahwa para bawahan yang berkompeten diajak berbicara
mengenai suatu hal secara pribadi. Kemudian, pemimpin membuat keputusan yang
mungkin didasari oleh masukan yang diberikan oleh bawahan atau bahkan tidak
sama sekali.
4. Model
CII berarti bahwa pemimpin mengajak para bawahan berbicara dan mereka
dikumpulkan sebagai suatu kelompok. Selanjutnya, keputusan yang dibuat bisa
dilandasi oleh masukan yang diberikan oleh para bawahannya atau juga bisa berdasarkan
pandangan sendiri.
5. Model
GII menggambarkan bahwa pemimpin dan para bawahan berbicara dalam suatu
kelompok. Kemudian, mereka bertukar gagasan guna memecahkan suatu persoalan
yang dihadap. Bila solusi sudah diperoleh, ia dijadikan dasar pengambilan
keputusan. Ia bersedia menerima solusi yang dihasilkan dari pembicaraan itu dan
tidak memaksakan kehendak agar gagasannyalah yang dijadikan dasar pengambilan
keputusan.
Melalui kepemimpinan yang partisipatif, diharapkan
kondisi organisasional suatu lembaga menjadi lebih baik. Sehubungan dengan hal
ini, bila mekanisme kepemimpinan partisipatif mencapai sasarannya, lembaga
dapat memperoleh beberapa manfaat penting diantaranya :
1. Kualitas
keputusan yang diambil menjadi lebih tinggi karena telah melalui proses curah
pikir (brain storming) serta adu gagasan. Tentunya, proses tersebut harus
dilandasi oleh itikad baik, akal sehat, saling percaya, dan kesediaan untuk
menerima gagasan baik yang disampaikan oleh pihak lain.
2. Pendewasaan
anggota lembaga terjadi karena mereka dibiasakan untuk memahami pemikiran dan
argumentasi pihak lain serta bersedia menerima kenyataan berupa diterima atau
tertolaknya suatu usulan yang disampaikan.
3. Para
anggota lembaga merasa diperlakukan secara terhormat sehingga perasaan ikut
memiliki (sense of belonging) terhadap lembaga menjadi lebih kuat tertanam
dalam hati mereka.
4. Para
anggota lembaga menjadi terlatih untuk menganalisis masalah serta memecahkannya
dan juga rasa kepercayaan diri mereka menjadi lebih mudah terbangun.
Selanjutnya, apabila nantinya dipercaya untuk mengampu jabatan lebih tinggi,
mereka menjadi lebih siap.
Mengingat kenyataan bahwa kepemimpinan partisipatif
memberikan peluang kepada para bawahan untuk terlibat dalam aktivitas lembaga
serta proses pengambilan keputusan, efektivitas keputusan dalam lembaga tetap
harus memperoleh perhatian. Tidak sepantasnya seorang pemimpin menimpakan
kesalahan pada terlibatnya para bawahan bila ia tidak dapat mengambil suatu
keputusan secara efektif. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat efektivitas keputusan. Diantaranya adalah
1. Variabel
situasional berupa jumlah informasi yang dimiliki oleh pemimpin serta
bawahannya, kongruensi sasaran (goal congruence) pemimpin dan para bawahannya,
mampunya pemimpin dan bawahan menjalin kesepakatan, dan kreativitas dalam
memecahkan kebuntuan dalam pengambilan keputusan.
2. Kesediaan
para bawahan untuk menerima keputusan karena mereka merasa bahwa ada nilai
positif yang dihasilkan oleh keputusan itu serta merasa keterlibatan dalam
pengambilan keputusan benar-benar dihargai.
3. Kualitas
keputusan bagi lembaga yakni apakah secara obyektif, terlepas dari perasaan
suka maupun tidak suka secara individual-keputusan yang diambil memberikan
dampak positif atau tidak pada lembaga. Masalah kualitas keputusan ini amat
penting untuk diperhatikan terlebih bila terdapat alternatif yang beragam.
4. Dipahaminya
aturan main dalam proses pengambilan keputusan. Pemahaman tentang aturan main
sekaligus kesediaannya untuk menerapkan secara konsekuen menjadikan proses yang
ditempuh memiliki probabilitas lebih besar untuk membuahkan hasil yang efektif
dari pada apabila para bawahan serta atasan masih belum memiliki pemahaman yang
sama.
Seorang pemimpin yang partisipatif akan merasa
senang apabila para bawahannya memperlihatkan antusiasme terhadap upaya
memecahkan problematika yang dihadapi oleh lembaga dan juga upaya untuk membuat
kondisi lembaga semakin baik. Untuk itu, ia harus mampu melakukan diagnosis
secara seksama terhadap beberapa aspek yang memiliki keterkaitan dengan situasi
proses pengambilan keputusan. Beberapa aspek itu antara lain
1. Pemahaman
tentang urgensi keputusan yang akan diambil bagi lembaga.
2. Pribadi
yang memiliki kecakapan tertentu terkait dengan keputusan yang akan diambil.
3. Seberapa
besar kemungkinan untuk membangun kerja sama antara pemimpin dengan para bawahan
dalam pengambilan keputusan.
4. Kelayakan
untuk menyelenggarakan pertemuan guna mencari beragam alternatif guna mengambil
keputusan.
Selain itu, ia juga perlu sekali memberikan
penguatan atau dorongan terhadap partisipasi para bawahannya. Penguatan
terhadap partisipasi mereka dilakukan dengan jalan
1. Memberikan
kesempatan para bawahan untuk mengungkapkan gagasan mereka.
2. Memperhatikan
secara sungguh-sungguh gagasan yang dikemukakan oleh para bawahan.
3. Memberikan
umpan balik atas gagasan yang diungkapkan oleh para bawahan.
4. Memberikan
peluang bagi munculnya gagasan pembanding dari para bawahan lainnya.
5. Memperlihatkan
apreasi yang baik terhadap gagasan para bawahan termasuk juga saran-saran yang
bersifat korektif.
B.
Pendelegasian Wewenang
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk
mendewasakan para bawahannya sehingga pada saat suksesi terjadi atau ketika
mereka dibebani tanggung jawab lebih tinggi, kesiapan mental telah mereka
miliki. Terkait dengan masalah ini, pendelegasian wewenang (delegation of
authority) merupakan satu cara yang dapat ditempuh untuk melakukannya.
Pada dasarnya, pendelegasian wewenang adalah
pemberian tugas atau tanggung jawab oleh seorang pemimpin kepada bawahannya.
Apabila dikaitkan dengan konsep kepemimpinan partisipatif, pendelegasian
wewenang adalah suatu hal yang menunjang, walaupun tidak identik. Secara umum,
pendelegasian wewenang dilakukan dengan memberikan tugas atau tanggung jawab
baru dan berbeda kepada bawahan. Dalam hal ini kita dapat mencontohkan seorang
staff keuangan yang diberi tugas untuk melakukan pemeriksaan transaksi keuangan
yang terjadi di dalam perusahaan. Ia harus memeriksa setiap transaksi yang
terjadi secara seksama. Apabila terjadi hal yang tidak sesuai dengan kondisi
yang seharusnya, ia diberi wewenang untuk melakukan perbaikan serta memberikan
semacam rekomendasi terhadapnya.
Aspek utama yang melekat pada pendelegasian wewenang
adalah :
1. Besar
dan ragam tanggung jawab.
2. Kebebasan
yang dimiliki dan pilihan untuk melaksanakan tanggung jawab.
3. Kewenangan
guna melakukan tindakan dan melaksanakan keputusan tanpa persetujuan terlebih
dahulu.
4. Frekuensi
pelaporan serta persyaratannya.
5. arus
informasi terkait dengan kinerja.
Aspek lain dari pendelegasian wewenang adalah sejauh
mana seorang bawahan harus meminta ijin kepada atasannya sebelum bertindak.
Tingkatan pendelegasian wewenang terendah adalah bila seseorang masih harus
bertanya atau meminta persetujuan atasan bila terjadi masalah yang dinilai
diluar kebiasaan. Tingkatan yang lebih tinggi terjadi bila seorang bawahan
diijinkan untuk menentukan apa yang harus dilakukannya tetapi harus memperoleh
persetujuan dari atasannya terlebih dahulu sebelum melaksanakannya. Kemudian
tingkatan tertinggi adalah ketika seorang bawahan diijinkan untuk menentukan
suatu keputusan serta melaksanakannya tanpa persetujuan dari atasannya.
Terkait dengan syarat pelaporan, bawahan dikatakan
memiliki kewenangan lebih besar jika ia hanya perlu memberikan laporan dalam
intensitas yang tidak terlalu besar semisal laporan secara bulanan. Selain itu,
laporan yang diberikan kepada atasannya hanya mendeskripsikan hasil yang
dicapai tanpa harus disertai penjelasan tentang bagaimana prosedur
pencapaiannya secara detil.
Dalam hal informasi atas kinerja, kewenangan bawahan
dinilai besar apabila informasi rinci mengenai kinerja bawahan dikirimkan
secara langsung kepadanya dan kemudian ia diberi wewenang untuk memperbaiki
masalah yang terjadi. Beberapa manfaat yang diperoleh dari pendelegasian
wewenang bila ia dilakukan secara benar adalah
1. Kualitas
keputusan yang diambil menjadi lebih baik bila para bawahan memang memiliki
kecakapan terhadap bidang tugasnya dibandingkan dengan atasannya serta ia lebih
memahami permasalahan karena mempunyai lebih banyak informasi.
2. Komitmen
bawahan untuk menerapkan keputusan secara efektif menjadi lebih tinggi bila
pendelegasian wewenang itu memang benar-benar dilaksanakan karena pertimbangan
kecakapan bawahan dan bawahan yakin dirinya mampu. Bukan karena ia hendak
dijebak oleh atasannya untuk menangani masalah yang tidak dikuasainya guna
dipermalukan nantinya.
3. Bagi
bawahan, pendelegasian wewenang dapat menjadikan pekerjaan yang dilakukannya
menantang dan memiliki arti. Bagi para bawahan yang cakap, pekerjaan yang
menantang merupakan salah satu hal yang membuatnya betah bekerja dan membuatnya
siap memikul tanggung jawab lebih tinggi.
4. Bila
atasan mendapatkan beban kerja berlebih, pendelegasian wewenang merupakan cara
untuk menguranginya sehingga ia dapat memfokuskan perhatiannya pada pekerjaan
yang dinilai lebih penting untuk dikerjakan segera.
5. Manajemen organisasi dapat dikembangkan menjadi
lebih baik karena pendelegasian wewenang merupakan wujud upaya penguatan kemampuan
manajerial seseorang bawahan. Pada saat ia dipromosikan menuju posisi lebih
tinggi, ia telah siap untuk mengembannya.
Sekalipun memiliki beberapa nilai lebih, pendelegasian
wewenang tidak akan pernah bersifat mutlak. Seorang atasan tetap harus memikul
tanggung jawab apabila ternyata pendelegasian wewenang tidak menciptakan
keadaan yang lebih baik. Karenanya, ia tetap dibebani tanggung jawab untuk
melakukan pemantauan.
Pendelegasian
wewenang bisa saja gagal bila bawahan tidak
cakap dalam mengampu tugas yang dibebankan padanya. Dari sudut pandang pribadi
atasan, kegagalan untuk melakukannya terjadi karena ia terlalu membutuhkan
kekuasaan dan takut tersaingi oleh bawahannya yang terbukti mampu melaksanakan
tugas yang dibebankan dan sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain.
Agar dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan
standar kinerja yang diharapkan, beberapa pedoman harus diperhatikan.
Diantaranya adalah
1.
Memastikan dengan tepat
apa tanggung jawab yang ingin didelegasikan
Agar tanggung jawab yang ingin didelegasikan bisa dipastikan, maka beberapa acuan dasar yang penting untuk diperhatikan adalah
Agar tanggung jawab yang ingin didelegasikan bisa dipastikan, maka beberapa acuan dasar yang penting untuk diperhatikan adalah
a.
Pendelegasian wewenang
dilakukan untuk tugas yang memang dapat dilakukan secara lebih baik oleh
bawahan.
b.
Bila tujuannya adalah
ingin mengurangi beban kerja berlebihan, maka tugas yang harus segera
didelegasikan adalah tugas yang harus segera diselesaikan tetapi tidak
mempunyai prioritas tinggi.
c.
Pemimpin perlu
mengetahui pendelegasian tugas yang relevan dengan jenjang karier seorang
bawahan.
d.
Pemimpin mendelegasikan
tugas yang menentang tetapi pasti dapat dilakukan oleh bawahan.
e.
Para bawahan harus
dibiasakan untuk bersedia melaksanakan segala tugas yang dibebankan padanya.
2.
Menerapkan cara yang sesuai
untuk mendelegasikan wewenang.
Adapun
cara yang sesuai dan menjadikan probabilitas berhasilnya pendelegasian wewenang
tinggi adalah
a.
menjelaskan tanggung
jawab secara gamblang kepada bawahan.
b.
memberikan wewenang
yang memadai dan memiliki batasan jelas.
c.
menjelaskan syarat
pelaporan secara rinci.
d.
memastikan bahwa
bawahan memang bersedia memikulnya dan memiliki komitmen kuat untuk
melaksanakannya.
Setelah wewenang didelegasikan
kepada para bawahan, atasan harus melaksanakan tindak lanjut agar pendelegasian
wewenang itu memperoleh dukungan. Diantaranya adalah
1.
Menyampaikan informasi
tentang pendelegasian wewenang itu kepada pihak-pihak yang diharapkan dapat
membantu bawahan.
2.
Memantau perkembangan
terkait dengan pelaksanaan tugas melalui indikator yang jelas.
3.
Memberikan informasi
tambahan mengenai tugas yang didelegasikan.
4.
Memberikan dukungan
psikologis kepada para bawahan dengan tetap memintanya Mampu menemukan solusi
atas permasalahan yang dihadapinya.
5.
Apabila terjadi
kesalahan, ia harus diyakinkan bahwa kesalahan itu adalah bagian dari proses
belajar dan ia tidak boleh dipermalukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar