Hadirnya otonomi
daerah sebenarnya didasarkan untuk mensejahterakan masyarakat di daerah ketika
pembangunan dengan pendekatan sentralistik selama ini dianggap belum dan tidak
mampu memberikan kesejahteraan rakyat. Sempitnya otoritas yang diberikan oleh
pemerintah pusat sebagai alasan implikasi pemerintahan di daerah tidak mampu
mengembangkan inovasi-inovasi dalam memanage pemerintahan dan pelayanan publik
yang prima kepada masyarakat di daerah.
Namun, sejak diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang kemudian diubah
dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
memberikan gairah dalam pelaksanaan pemerintahan bagi aparat, elit politik dan
masyarakat di daerah. Salah satunya adalah tingginya kuantitas produk-produk
kebijakan publik (perda) yang mengatur kepentingan-kepentingan daerah dan
tuntutan-tuntutan para elit politik atas pemekaran daerah guna tercapainya
implementasi otonomi daerah yang hakiki.
Sebagai salah satu
produk reformasi, otonomi daerah hadir beriringan dengan proses demokratisasi
yang memberikan kemerdekaan kebebasan masyarakat dalam mengemukakan pendapat
hingga melahirkan elit-elit politik baru di daerah yang memanfaatkan eksistensi
partai-partai politik sebagai instrument efektif meraih kekuasaan di tingkat
lokal. Apalagi sejak tahun 2005 memungkinkan dilaksanakannya pemilu kada dengan
pendekatan direct democracy. Sebagaimana pandangan Bryan Smith (1985) tujuan
pemilu kada sebenarnya adalah untuk menciptakan pemerintah daerah yang
akuntabel dan responsif serta terbangunnya persamaan hak politik di tingkat
lokal.
Dalam konteks ini
situasi politik di tingkat lokal terjadi perubahan yang signifikan dimana
pemilu kada secara langsung telah memindahkan arena politik dalam institusi
perwakilan (DPRD) menjadi arena terbuka, tidak hanya melibatkan
kekuatan-kekuatan politik formal tetapi melibatkan kehadiran yang rakyat
sebagai objek penyeleksi kepemimpinan lokal. Pelibatan rakyat dalam kepemimpinan
lokal di era otonomi daerah ini memiliki implikasi terhadap janji-janji politik
dalam masa kampanye hingga berimplikasi pada out put – out put kebijakan publik
setelah memegang tampuk kekuasaan.
Lebih jauh, setiap
kebijakan publik yang diimplementasikan memberikan ruang terbuka tingginya
partisipasi publik karena proses pemilu kada menjadi pijakan esensial untuk
mendapatkan legitimasi dari rakyat dalam menjalankan pemerintahan sebagai wujud
pelaksanaan sistem demokrasi di tingkat lokal (Diamond, 2003).
Situasi politik lokal
atas implementasi otonomi daerah dan demokratisasi ini memberikan eksternalitas
positif kepada berbagai lapisan masyarakat baik dunia usaha maupun sosial
budaya, dan pada aras lanjutannya menjadi isu-isu publik hingga menjadi kebijakan
publik (Dunn, 2000). Celah-celah ranah demikian, justru akhirnya memiliki
implikasi negatif secara komprehensif dimana ragam kepentingan personal, tim
sukses, partai politik maupun pemodal ekonomi yang melibatkan diri dalam proses
demokrasi (pemilu legislatif dan Pemilu kada) mengambil “hak-hak politik
ekonomi” mereka lewat sumber-sumber yang “diamankan” dengan kebijakan publik
(perda). Tidak jarang kebijakan yang dibuat seolah-olah merupakan usulan dan
hajat publik, dimana “partisipasi prosedural “ dijadikan sandaran terpenuhinya
unsur demokratis dalam pengambilan keputusan dan memenuhi perintah
undang-undang. (baca: musrenbang ).
Harapan kebijakan
publik pada awalnya untuk kepentingan semua masyarakat, memungkinkan dibalik
kehadiran kebijakan publik oleh pemerintahan di daerah justru adalah
kepentingan segelintir pihak yang menjadi bagian dari kekuasaan dimana
sebelumnya telah membuat kesepakatan praktek “politik transaksionis.”
Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan atau fasilitas umum yang tidak
prioritas dan tidak terukur dalam analisa manfaat yang tidak memberikan
multiplier effect yang besar serta inefesiensinya pemanfaatan dana APBD adalah
contoh dari kebijakan model ini.
Menariknya,
perkembangan terakhir politik lokal, ketika sebelumnya para pemodal ekononi
yang berorientasi pada pengurasan alokasi sumber dana APBD lewat proyek-proyek
pembangunan di daerah sebagai penyokong dana politik kandidat termasuk
pengkaplingan lahan-lahan perkebunan dan tambang, kini terjadi pergeseran
signifikasi atas posisi-posisi politik formal. Perebutan posisi leader di ranah
partai politik misalnya, adalah “jalan lain” menuju kekuasaan politik yang
lebih luas termasuk implikasinya pada arah kebijakan publik yang dibuat.
Ragam kecemasan out
put kebijakan publik yang didasarkan pada “politik transaksionis” pada
gilirannya mendatangkan problem baru terjadi konflik kepentingan antar
masyarakat dan pelaku kekuatan politik formal dan kekuatan non formal. Fakta
inilah pemicu lahirnya kebijakan populis - pragmatis yang justru tidak
dikategorikan sebagai kebijakan publik yang rasional, teknokratis dan strategis
yang lebih substainable serta menyentuh pada kepentingan masyarakat luas.
Inilah mengapa para analis kebijakan publik melihat implementasi otonomi daerah
dimana harapan untuk mendekatkan pelayanan publik prima, justru masyarakat
menjadi pihak yang menanggung implikasi negatif dari kebijakan publik atas
perilaku “politik transaksional” tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar